Hai readers J
Hari ini saya ingin menulis kembali tulisan seseorang di koran kampus unhas "identitas".
--Batas Idealisme—
Oleh
Arsyad,
mahasiswa Teknik Perkapalan Universitas Hasanuddin,
pengurus UKM Kegiatan Penalaran Mahasiswa.
Saat aku pertama kali menginjakkan kaki di dunia kemahasiswaan, aku terharu melihat puluhan bahkan ratusan mahasiswa yang selalu berteriak untuk sebuah perbaikan baik itu moral bangsa, ekonomi politik, maupun hal-hal lain. Ketika itu, aku sempat bermimpi lima sampai sepuluh tahun kedepan Indonesia akan mencapai puncak kejayaannya sebagai sebuah bangsa. Ini aku utarakan dengan alasan bahwa variabel variabel yang dapat mempengaruhi kemajuan sebuah bangsa telah kita miliki. Kekuatan itu ada pada kita, tinggal bagaimana cara kita mengelola dan memanajemen serta bagaimana moral orang-orang yang bermain dibalik perubahan itu, tentunya ini yang menentukan. Adapun variabel yang dimaksud adalah jumlah penduduk, sumber daya alam, sumber daya manusia.
Ketiga variabel ini seharusnya bisa dikolaborasikan untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera seperti yang dimimpikan bangsa ini. Dan alasan yang paling meyakinkan bagiku bahwa mimpi itu pasti terwujud adalah idealism mereka yang selalu dikatakan hanya satu kata untuk sebuah ketidakadilan yaitu “lawan”. Aku sangat yakin bahwa mereka adalah orang-orang yang ditunggu zaman ini., orang-orang pembawa lilin dalam kegelapan dengan idealisme yang akan selalu bersinarmenerangi gelapnya kehidupan bangsa ini. Kira-kira hal itu yang selalu ada di pikiranku saat itu.
Tapi dalam mimpi pun aku mendapat pertanyaan tentang realitas yang di alam mimpiku mereka (KH Agussalim, Ahmad Dahlan, Seo Hok Gie, Pramoedya Ananta Toer) mengajakku ke zaman Bung Karno, zaman para pejuang 45 menuntunku berjalan di atas terjang yang dilalui oleh manusia manusia baru, zaman angkatan 66, dan pelitnya pertarungan di angkatan 84 sampai 98 serta lahirnya reformasi yang ditunggu puluhan tahun.
Aku merasa begitu lelah berjalan melintasi sejarah yang begitu panjang sampai pada tahunini, 2011. Namun aku pun masih tidak mengerti mengapa mereka mengajakku berjalan melintasi ruang dan waktu yang begitu panjang dan menurutku itu smeua hanyalah sebuah kesia-siaan belaka. Untuk meyakinkan diriku, aku pun bertanya pada mereka apa yang ingin kau katakan padaku sehingga mengajakku menelusuri jejak-jejak sejarah ini?
Dengan senyumnya yang khas dan penuh keangkuhan mereka mulai menjawab dan mengatakan padaku, kau terlalu naif dalam bermimpi tentang kejayaan. Apakah kau tidak melihat saat Seokarno berapi-api menyuarakan dan memperjuangkan kemerdekaan yang akhirnya mengorbankan banyak nyawa, atau Akbar Tanjung dan rekan-rekannya yang rela kuliah puluhan tahun bahkan membahayakan nyawanya sendiri hanya untuk menurunkan Sseokarno, atau apakah kau masih menutup mata dari tragedi yang terjadi pada masa orde baru yang ditutup dengan trisakti. Semua yang mereka perjuangkan adalah idelaisme dan perubahan untuk sebuah nilai kemanusiaan. Dan kau tahu apa yang terjadisetelah itu, mereka semua mengkhianati perjuangannya.
Kata terakhir yang membuatku terbangun dari mimpiku. Ya, aku pun sadar bahwa di Indonesia posisi dan kondisi menetukan idealisme seseorang. Paling tidak itu yang dapat aku simpulkan dari diskusi teman-teman pergerakkan yang lain.
Suatu ketika mereka mengatakan padaku,”kawan, ingat kita adalah mahasiswa yang harus memegang prinsip dasar mahasiswa yaitu agent of change, social of control, dan moral force. Ketiga hal ini harus kau pegang danjangan pernah berafiliasi dengan partai politik karena disana yang ada adalah kepentingan dan pragmatisme berpikir. Sampai disini aku setuju, tapi yang paling mengganjal pikiranku adalah pertanyaankutentang senior-senior mereka yang skearng menjadi pemimpin partai.”kau mau tahu jawaban mereka,”yang penting kan mereka bukan lagi mahasiswa,” katanya. Dalam benakkku, idealisme hanya sebatas pada tataran mahasiswa. Dan sekarang pun menurutku telah lahir politisi-politisi kecil dari kampus-kampus, mereka memanfaatkan anggotanya dan jabatan, ya untuk meraut keuntungan sebanyak-banyaknya dari negara dan masyarakat. Sehingga aku selalu bertanya, sampai disinikah batas idealisme? Sudah tidak adakah orang yang memiliki idealisme seperti Ahmad Wahid>
Aku kira pengaderan dan kegiatan semacamnya yang sering dilakukan oleh lembaga kemahasiswaan hanyalah rutinitas yang akan melahirkan diktator-diktator dan penindas-penindas baru. Seorang penjajah baru yang akan menjajah bangsanya sendiri, akan membodohi masyarakatnya. Inilah realitas hidup bangsa hewan, dimana hukum rimba selalu berlaku yang kuat dan cerdik akan menindas yang bodoh dan lemah dan disinilah esensi lahirnya sebuah institusi yang disebut “UNIVERSITAS”.
No comments:
Post a Comment